Dampak Perang Dagang Amerika-Tiongkok di Era Donald Trump terhadap Generasi Muda Indonesia

DISKUSI TERBUKA PERHIMPUNAN INTI DAN PARA SYNDICATE

JAKARTA (LB)-Perhimpunan INTI (Indonesia Tionghoa) dalam hal ini PEMANTIK (Persatuan Penerima Beasiswa INTI ke Tiongkok) bersama GEMA INTI (Generasi Muda INTI) dan PARA Syndicate menggelar diskusi terbuka bertajuk “Perang Dagang Amerika-Tiongkok di Era Donald Trump dan Dampaknya untuk Generasi Muda Indonesia” di Sekretariat Perhimpunan INTI, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (15/2/2025).

          Diskusi menghadirkan lima pembicara, yaitu Victor S. Hardjono (Kementerian Luar Negeri RI – Pejabat Fungsional Diplomat Madya, Direktorat Asia Timur), Virdika Rizky Utama (Direktur Eksekutif PARA Syndicate), M. Fatahillah (Dosen Hubungan Internasional – Universitas Indonesia), Fathan Sembiring (Gentala Institute) dan moderator Lutfia Harizuandini (PARA Syndicate).

Penyerahan piagan kepada para narasumber.

          Ketua PEMANTIK Mercedes Amanda yang juga Ketua Bidang Digital Campaign GEMA INTI dalam sambutannya menyampaikan sebagai wadah yang mempertemukan para penerima beasiswa INTI ke Tiongkok, PEMANTIK berupaya untuk memahami dan membahas isu-isu yang berdampak pada hubungan Indonesia, Tiongkok, dan dunia.

          Sementara Sekjen INTI Candra Jap dalam sambutannya mewakili Ketua Umum Teddy Sugianto mengapresiasi terlaksananya kegiatan diskusi kerjasama PEMANTIK, GEMA INTI dan PARA Syndicate.

          “Kami dari Perhimpunan INTI tentunya senang dan bangga, melihat anak-anak muda penerus INTI ini mempunyai kepekaan terhadap isu-isu global yang berdampak bagi masa depan mereka. Terlepas adanya isu efisiensi yang sedang dilakukan pemerintah, dan maraknya tagar #KaburAjaDulu yang digaungkan anak muda Indonesia di media sosial,” ujar Candra.

          “Diskusi ini merupakan bukti nyata kecintaan generasi muda INTI dan Indonesia tentunya, terhadap negaranya. Semoga kerjasama intelektual seperti ini dengan PARA Syndicate dapat terus berlanjut,” imbuhnya.

          Fatahillah mengawali analisis dinamika AS-Tiongkok dengan melihat karakter Presiden AS Trump. Menurutnya, Trump yang merupakan pebisnis memproyeksikan untung-rugi bagi AS. Ia begitu ambisius, bersikap materialitis, pragmatis, sekaligus narsis, sehingga tak ayal bila ingin mendominasi dunia.

“Ketika neraca perdagangan AS selalu mengalami kerugian dan kalah dari Tiongkok, Trump mengenakan tarif kepada Tiongkok dan membentuk sentimen negatif terhadap negara tersebut,” tuturnya, merujuk pada Perang Dagang yang pernah terjadi di pemerintahan Trump periode 2017-2021.

Sementara itu, Tiongkok juga tidak mau kalah dengan membalasnya melalui pengenaan tarif juga.

          Dalam menghadapi Perang Dagang AS-Tiongkok kali ini, Fatahillah berharap Indonesia bisa belajar dari pengalaman ketika menghadapi Perang Dagang sebelumnya.

          “Saat ini Indonesia mesti mempertimbangkan posisi dan peran di tataran global, proyeksikan dampaknya… harus memikirkan kesiapan kebijakan di dalam negeri, khususnya investasi dan relokasi industri ke Asia Tenggara. Juga, cermati kemampuan diplomasi ekonomi Indomesia karena ini lebih dari sekadar perang tarif,” terangnya.

          Dalam kesempatan itu, Virdika menilai AS sedang dalam fase penurunan hegemonik, sementara Tiongkok berada di fase ekspansi. “Menghadapi ini, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam dinamika konflik antara dua kekuatan ini,” katanya.

Para narasumber berfoto bersama peserta diskusi.

          Virdi berharap Indonesia bertumpu pada ASEAN alih-alih melipir kepada AS atau Tiongkok. Hanya dengan demikian, Indonesia punya peluang lebih besar untuk memperkuat kemandirian ekonominya. Lebih lanjut, ia memperingatkan, “Jika kebijakan yang tepat tidak segera diterapkan dalam 5–7 tahun ke depan, Indonesia sekadar bergantung kepada salah satu kekuatan global (AS atau Tiongkok).”

          Bagi Victor, skenario ke depan masih kabur. “Masih belum bisa mengukur Trump karena sulit diprediksi dan kenyataan sekarang tidak reliable; eksplosif… Sementara, Tiongkok agak tertutup,” ujarnya.

Meski begitu, Victor menegaskan bahwa Indonesia harus merefleksikan sekaligus merumuskan kembali kepentingannya. Apa pun kepentingannya, kata dia, Indonesia harus melaju ke depan jika ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

          “Indonesia harus terus produktif dan pertumbuhan ekonomi harus jalan,” lanjutnya, seraya berpesan agar Indonesia meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan untuk mendukung hal ini.

          Adapun Fathan menyoroti Indonesia belum punya teknologi kecerdasan buatan secanggih yang dimiliki AS dan China, seperti ChatGPT dan DeepSeek, yang kini digandrungi generasi muda. Ia menyayangkan bila Indonesia ke depan tidak punya inovasi serupa, yang memungkinkannya sekadar menjadi pengguna.

          “Peran pemerintah dan regulasinya harus bagaimana, itu harus diperhatikan,” katanya. **